Dari Pasar Jamu ke Klinik Frekuensi: Kisah Dr. Ali Senjaya, Pelopor Protokol Quantum Healing di Indonesia

Daftar Isi

Di balik ketenangan wajahnya, tersimpan kisah hidup penuh perjuangan. Ia dikenal sebagai pionir Protokol Dr. Senjaya — pendekatan penyembuhan berbasis bioresonansi dan koreksi frekuensi tubuh. Tapi siapa sangka, masa kecilnya diwarnai stigma “anak bodoh”, hidup sederhana di tengah keluarga penjual jamu tradisional, hingga kehilangan adik kandung akibat cacat jantung bawaan.

Protokol Dokter Senjaya


“Saya waktu kecil dianggap aneh. Nggak bisa belajar seperti anak lain, nggak suka mencatat, sering kluyuran, emosional. Tapi saya tahu satu hal: saya selalu ingin menolong,” ujar Dr. Ali Senjaya, mengenang masa kecilnya di Pasar Dinoyo, Malang.

Lahir dan besar di kota Malang, Dr. Ali tumbuh sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Pendidikan ditempuh sepenuhnya di kota ini — dari TK hingga Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Hidupnya berubah saat kelas 5 SD, ketika adik kandungnya mengalami serangan jantung dan diselamatkan sementara oleh seorang dokter tentara tetangga mereka. Pengalaman itu menyalakan tekad: suatu hari ia akan jadi dokter, agar bisa menolong keluarga seperti keluarganya dulu.


Namun jalannya tak mulus. Ia pernah gagal naik kelas, sempat masuk pergaulan buruk, dan hampir putus sekolah karena kondisi ekonomi keluarga. Ia tak pernah mencatat pelajaran — hanya bisa belajar dengan mendengar. Baru di usia dewasa, ia mengetahui lewat tes frekuensi bahwa dirinya punya gangguan visualisasi yang membuat metode belajar konvensional tidak cocok untuknya.

Setelah lulus, ia bekerja di sejumlah perusahaan farmasi ternama: Roche, Hoechst, Dexa Medica, dan Novell Laboratories. Di sanalah ia mulai mempertanyakan satu hal:

“Kenapa banyak pasien yang minum obat sesuai aturan, tapi tidak sembuh juga? Ada yang hilang — dan itu bukan soal dosis, tapi soal energi.”

Titik balik datang ketika ia bertemu dua sosok penting: Dr. Pudji Wiyanti dan Letkol Purn. Dr. Setiyawan Jasadireja, yang kemudian menjadi orang tua angkatnya dan mengenalkannya pada bioresonansi dan quantum energy.

Dari sinilah lahir Protokol Dr. Senjaya — pendekatan penyembuhan yang menggabungkan data medis, frekuensi tubuh, alergi tersembunyi, trauma emosional, dan kondisi lingkungan. Protokol ini dikembangkan sejak 2007 saat ia menjabat sebagai Head of Research & Development di Bio E Indonesia Network.

Metodenya mendapat banyak perhatian, terutama dari orang tua anak dengan gangguan spektrum autisme (ASD), ADHD, dan gangguan perilaku lain yang tidak membaik dengan terapi biasa. Pendekatannya melibatkan koreksi resonansi otak, saraf otonom, serta pembersihan medan energi dari pengaruh stres dan memori sel.

“Tubuh punya bahasa sendiri. Kadang yang sakit bukan hanya fisik, tapi frekuensi yang tak harmonis. Protokol ini membantu tubuh menemukan nadanya kembali.”

Ia juga banyak dipengaruhi buku-buku ilmiah seperti Nutrient Power (Dr. William Walsh), Say Goodbye to Allergy-Related Autism (NAET), dan Brain Allergies (Dr. William K. Philpott), serta literatur ilmiah tentang vibroacoustic therapy, PEMF, dan whole-body vibration therapy yang kini banyak digunakan di dunia barat.

Kini, Dr. Ali Senjaya terus mengembangkan protokolnya, membina para praktisi bioresonansi, dan membagikan kisah hidupnya sebagai inspirasi bagi keluarga yang merasa tak punya harapan.

“Kalau dulu saya ditolong dokter tetangga, sekarang giliran saya jadi cahaya buat keluarga lain,” tuturnya.

Dari lapak jamu di pasar hingga klinik frekuensi, kisah hidup Dr. Ali adalah bukti bahwa cinta, ilmu, dan getaran yang tepat bisa menyembuhkan lebih dari yang kita bayangkan. Demikian sekilas kisah salah satu dokter yang ada di Seputar Harapan Indah.

Info ini ditulis dan dibagikan oleh Seputar Harapan Indah dot com